POLA PEMIKIRAN MASYARAKAT BERAGAM BAHARI
DI SULAWESI TENGAH: Sebuah Catatan Awal[1]
Oleh
Haliadi-Sadi, Ph.D
(Dosen Sejarah dan Kepala Pusat Penelitian Sejarah
LPPM UNTAD)
I.
Pengantar
Apakah kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Tengah merupakan kerajaan maritim? Dan bagaimana pola pemikiran masyarakat
bahari di Sulawesi Tengah? Menjawab pertanyaan ini, maka tulisan awal ini akan
menguraikan beberapa hal, antara lain: Pertama,
Kontur Laut Sulawesi Tengah Sebuah Gambaran Umum dan Kerajaan Maritim di
Sulawesi Sulawesi Tengah; Kedua,
Masyarakat Campuran Bahari di Pinggir Laut Sulawesi Tengah; dan Ketiga, Budaya Bahari Bajo di Sulawesi
Tengah.
II. Kontur
Laut Sulawesi Tengah Sebuah Gambaran Umum
Budaya maritim Kerajaan-Kerajaan
di Sulawesi Tengah dipengaruhi oleh dinamika Laut Sulawesi, Laut Banda, Selat
Makassar, Laut Maluku, Teluk Tomini, Teluk Tolo, dan Teluk Palu. Hal ini
menunjukkan bahwa hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Tengah kecuali Napu dan
Kulawi dapat disebut sebagai kerajaan maritim yang mendukung aktifitas
pelayaran dan perdagangan nusantara. Salah satu sumber penting yang dilansir
oleh Velthoen mengenai Bungku menyatakan bahwa:
“The prosperity of Tambuku was based
on a patchwork of alliances between individual Tambuku chiefs and raiding
headmen such as Arung Bakung that linked Tambuku to raiding headmen in South
Sulawesi, Toli-toli and Tambuku. The expeditionof 1842 and the forced move to
Lanona ended Tambuku’s role as traiding centre in eastern Sulawesi and as the
forwarding base for large raiding expedition. The role of staple-market in
eastern Sulawesi was taken over by a number of smaller settlements, of which
Kendari was the most important. A number of these, including Kendari, were
controlled by syahbandar who collected harbor tax and who were supposedly
appointed by Bone.”[2]
Artinya:
Kemakmuran Tambuku didasarkan pada hubungan aliansi antara Kepala
Tambuku sebagai individu dan kepala desa merampok seperti Arung Bakung yang
menghubungkan kepala desa Tambuku untuk merampok di Sulawesi Selatan, Toli-toli
dan Tambuku. Para ekspedisi tahun 1842 dan bergerak dipaksa untuk peran Lanona
ibukota Tambuku sebagai pusat perdagangan di bagian Timur Sulawesi dan sebagai
dasar untuk ekspedisi para perampok besar. Peran pokok-pasar di Timur Sulawesi diambil
alih oleh sejumlah permukiman kecil, yakni Kendari yang paling penting. Sejauh
ini, Kendari dikendalikan oleh Syahbandar yang mengumpulkan pajak pelabuhan
yang seharusnya ditunjuk oleh Kerajaan Bone.
Demikian juga cerita
Saverigading di Kaili dan Poso merupakan bukti hubungan maritim antara Kerajaan
Bugis-Makassar seperti Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, dan Kerajaan Luwu. Kisah
Saverigading membuktikan bahwa ada sikap terbuka antara Kerajaan-Kerajaan di
Sulawesi Tengah dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi bahagian Selatan termasuk
Kerajaan-kerajaan di Tanah Mandar. Kontur Laut Kerajaan Maritim di Sulawesi
Tengah dipengaruhi oleh Selat Makassar dan Teluk Palu sehingga mempengaruhi
budaya maritim di kerajaan-kerajaan lokal Sulawesi Tengah. Sementara kontur
pesisir di bagian Utara seperti Kerajaan Tolitoli dan Buol langsung dipengaruhi
oleh laut Sulawesi sehingga membentuk budaya maritim laut Sulawesi. Sementara
itu, kontur laut bagian Timur dipengaruhi oleh Laut Banda dan Laut Maluk serta
Teluk Tolo yang berpengaruh langsung kepada Kerajaan Bungku, Mori dan Banggai.
Teluk Tomini langsung berpengaruh kepada budaya Maritim Kerajaan Togean, Tojo
Una-una, Poso, Parigi, dan Moutong. Dengan demikian, ada empat pengaruh
jaringan laut di Sulawesi Tengah, yakni, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut
Banda plus Selat Maluku, dan Teluk Tomini.
Hampir semua kerajaan di
Sulawesi Tengah memiliki hubungan topografi dengan laut dalam arti Selat,
Teluk, Tanjung, Muara Sungai, maupun Pelabuhan Laut, kecuali Kerajaan Kulawi,
Kerajaan Pamona, dan Kerajaan Napu. Kerajaan maritim Sulawesi Tengah memiliki
cerita dan kisah masing-masing mengenai pengalamannya dengan laut. Dua kerajaan
di bagian Utara Sulawesi Tengah yakni Kerajaan Tolitoli dan Kerajaan Buol
berkaitan erat dengan Laut Sulawesi, turun ke bawahnya terdapat satu kerajaan
yang bernama Sojol yang memiliki raja pertama dari Sulu Selatan. Beberapa
Kerajaan yang ada di Teluk Palu seperti Kerajaan Tavaeli, Kerajaan Palu,
Kerajaan Sigi, Kerajaan Dolo, Kerajaan Tatanga, dan Kerajaan Banawa merupakan
kerajaan yang berhubungan langsung dengan Teluk Palu dan Selat Sulawesi di
perantaraan Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Sementara itu, Kerajaan di
Pantai bagian Timur Pulau Sulawesi seperti Kerajaan Bungku, Kerajaan Mori, dan
Kerajaan Banggai langsung berhubungan dengan Laut Banda, Teluk Tolo, dan Laut
Maluku. Sementara itu, kerajaan-kerajaan Sulawesi Tengah seperti Kerajaan Tojo
Una-Una, Kerajaan Togean, Kerajaan Poso, Kerajaan Sausu, Kerajaan Parigi,
Kerajaan Kasimbar, dan Kerajaan Moutong langsung menghiasi dinamika Teluk
Tomini dari masa ke masa.
III.
Masyarakat Campuran Bahari di Pinggir Laut Sulawesi Tengah
Masyarakat Maritim merupakan
masyarakat dinamis yang terbuka dan bebas dari sekat-sekat budaya dan batas-batas
administrasi. Terbentuknya masyarakat baru Maritim di Sulawesi Tengah terbangun
atas serbuan laut ke Wilayah Sulawesi Tengah bagian pinggir laut. Ada empat
wilayah masyarakat bahari yang telah tercampur dengan masyarakat lokal, yakni
campuran masyarakat bahari selat Makassar, campuran masyarakat bahari Laut
Sulawesi, Campuran masyarakat bahari Laut Banda dan Selat Maluku, serta
campuran masyarakat Bahari Teluk Tomini.
Campuran masyarakat bahari
Selat Makassar terjadi di Kerajaan Dolo dan Kerajaan Tavaeli, Kerajaan Banawa
yakni pertemuan kulturan antara orang Mandar dengan Orang Kaili hingga ke
Pantai Barat Sulawesi Tengah. Menurut silsillah Kerajaan Sigi Dolo Yaruntasi
ini yang menurunkan keturunannya hingga Raja Datu Pamusu di Dolo sebagai seorang
raja yang selalu membangkang kepada Kolonial Belanda di Lembah Palu. Datu
Pamusu menurunkan anaknya yang bernama Rajagunu Datu Pamusu yang turun kepada
Abdul Bari Datu Pamusu. Abdul Bari Datu Pamusu merupakan Ketua Dewan Adat Kota
Patanggota Dolo. Beliau adalah seorang yang sederhana namun masih diakui oleh
masyarakat sebagai pemangku Kerajaan Sigi Dolo di Sulawesi Tengah yang dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakat berdasarkan adat istiadat Kaili
di Sulawesi Tengah.[3]
Salah seorang keluarga “Tambarodea” (budaya sagu) yang terkenal
di Kerajaan Dolo adalah Datu Pamusu.
Datu Pamusu adalah seorang yang aktif di Syarekat Islam maupun PSII yang
melawan Belanda di Sulawesi Tengah. Datupamusu lahir tahun 1864 di Pesaku,
sebuah kampung dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Dolo. Ia merupakan putra
tunggal Yolulemba, Magau Dolo.[4] Datu Pamusu
diangkat sebagai Magau Dolo menggantikan pamannya Gantoelemba atau Tomai
Kadundu yang tewas pada 15 November 1905 dalam sebuah serangan pasukan kolonial
ke Kerajaan Dolo. Ketika Datupamusu diangkat sebagai Magau Dolo,
Kerajaan Dolo telah mengikat kontrak[5]
dengan pemerintah Hindia Belanda. Kerajaan Dolo telah beberapa kali
menandatangani kontrak politik terhadap pemerintah kolonial.[6]
Pada tahun 1888, ketika usia Datu Pamusu belum genap 15 tahun. Ia telah
diikutkan oleh ayahnya (Yolulemba) dalam perang antara rakyat Kayumalue beserta
sekutunya melawan pasukan kolonial. Kerajaan Dolo ikut membantu pasukan
Kayumalue karena adanya ikatan kekeluargaan antara penguasa Kayumalue dengan
Penguasa Dolo. Sementara itu, Mandar di
Kerajaan Tavaeli dapat dilihat dari kisah tentang Rajalangi yang biasa disebut
Madika Mandar mengawini anak kelima dari Datumpedagi yang bernama Tjara
Datumpedagi yang biasa dipanggil dengan nama Pue Puaji. Perkawinan ini
melahirkan anaknya yang bernama Yodo Rajalangi atau Mangge Sule yang menikah
dengan perempuan Tavaeli yang bernama Dg. Masangi. Yodo Rajalangi adalah seorang pembaharu yang memperkenalkan aksara
latin pertama kali di Tavaeli. Yodo Rajalangi juga menjadi seorang imam di
Masjid Tavaeli yang memiliki kekeramatan dan sakti.[7]
Beliau menjadi penasihat Raja Tavaeli ke-VII yang bernama Magau Mangge Bodu
atau Magau Punggu yang berkuasa antara tahun 1800 hingga tahun 1900.[8] Pada masa ini Magau Punggu ditunjuk oleh adat
untuk menjadi Magai Tavaeli pada umur 12 tahun sehingga tugas-tugas kerajaan
dipegang oleh pamannya yang bernama Datumpedagi atau yang biasa dikenal dengan
nama Pue Oge Nganga sebagai Wali Magau (Pelaksana Harian di Kemagauan Tavaeli).[9]
Sementara itu, campuran
masyarakat bahari Laut Sulawesi di Tolitoli dan Buol serta Sojol yakni
masyarakat Mindanao dengan masyarakat Sojol sementara di Tolitoli terdapat
percampuran Bugis Barru dengan masyarakat Tolitoli yang disebut Bugis Tolitoli.
Raja pertama Kerajaan Sojol menurut silsillah[10]
Kerajaan Sojol bernama Noeroel Hidayah. Noeroel Hidayah menurut keterangan di
Bou dinyatakan berasal dari sebuah kerajaan yang ada di Filipina Selatan. Raja
ini menikah dengan Siti Nooeroesia sebagai permaisurinya. Putra dari Raja Sojol
Pertama ini bernama Mogojili Moeroe seorang laki-laki. Anak raja ini menikah
dengan seorang perempuan Sojol yang tidak dicantumkan namanya dalam silsillah
tersebut, namun memiliki anak yang bernama Yeleloeni
Daemindalan. Ketika Noeroel Hidayah mangkat, yang menjadi raja bukan
putranya yang bernama Mogojili Moeroe tetapi mengangkat suami cucunya yang
bernama Daempabila seorang Raja Tjendana dari Mandar di Sulawesi Bahagian
Barat. Pada silsillah Sojol dicantumkan bahwa Daempabila menikah dengan Yeleloeni Daemindalan cucu dari Raja
pertama Noeroel Hidayah. Suami cucu Raja Noeroel Hidayah yang bernama
Daempabila diangkat menjadi Raja Kedua Kerajaan Sojol. Putri Mogojili Moeroe
ini diceritakan sebagai seorang perempuan yang cantik jelita. Pada saat itu,
mulai lagi Orang Mandar dari Kerajaan Tjendana menjadi Raja di Kerajaan Sojol.[11]
Hasil perkawinan dari Daempabila dengan Yeleloeni Daemindalan melahirkan
seorang anak perempuan yang bernama Bokintinole. Bokintinole dinikahi oleh
seorang laki-laki yang bernama Daempalalo yang juga tidak diketahui namanya,
tetapi dari namanya dapat dikatakan bahwa menggunakan dae sebuah cirikhas nama
mandar di masa itu. Hasil perkawinan antara Daempalalo dengan Bokintinole
melahirkan dua orang anak, yakni: Pertama, Sitimamina seorang perempuan.
Kedua, Jeleloemoet juga seorang
perempuan. Sitimamina menikah dengan Ensabarajang seorang Raja Dampal di
Tolitoli Selatan, sementara itu Jeleloemoet dinikahi oleh Sajamondoelan yang melahirkan
Jelejinangka dan Boelamemboe Elefoelaane yang meletakkan dasar penguasa di
Tinombo Pantai Timur di Teluk Tomini.
Pada bagian timur terdapat juga campuran
masyarakat bahari Laut Banda dan Selat Maluku seperti Bajo Salabangka di
Kerajaan Bungku, juga masyarakat Banggai dan Bungku dengan masyarakat Ternate. Kerajaan
Tombuku yang terletak di pantai Timur Sulawesi dan berada di bawah kekuasaan
Sultan Ternate, merupakan sebuah daerah sempit memanjang yang di sebelah Timur
di batasi dengan laut, di sebelah Utara dengan wilayah Banggai, sebelah Barat
dan Selatan dengan kerajaan Luwu dan Laiwui.[12] Batas utara
ditetapkan dimulai dari pulau Tegonteya dan batas Selatan kerajaan ini
membentang sampai negeri Lembo Belala. Teluk Tomori yang di peta tertulis Teluk
Tolo, menjorok ke Darat di Pantai Timur, dan Daerah Tello menjorok paling dalam
di kedalaman teluk antara di daerah Tombuku sehingga Kerajaan Tombuku terpisah
melalui teluk daerah Tomori menjadi dua, menjadi Tombuku Utara dan Selatan.
Kerajaan Tombuku selain itu dibagi menjadi empat distrik yakni: a)
Tombuku asli yang daerah pantainya dari Tomori di daerah sempit mengecil
membentang sampai ke Negeri Faja atau Tanjung Faja, yang disebut Tapu Uluno
oleh orang pribumi;
b) Daerah Bahu Solo yang dimulai di Tapu Uluno di
selatan berakhir dengan Negeri Bilala dan di Barat dibatasi dengan Daerah Tu
Eppe yang di sebelah Utara dibatasi dengan Distrik Tombuku dan daerah Tomori
serta di Barat dan Selatan ditutup dengan Kerajaan Luwu.[13] Grenzen, “Het
Lanchap Boengkoe,” Tijdschrift, voor Indische Taal Land en
Volkenkunde, uit
gegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchapen, 1908, hlm.
489. c) Daerah Toe Eppe yang di Utara dibatasi oleh Distrik Tombuku dan Daerah
Tomori, sementara di Barat dan Selatan ditutup oleh daerah Kerajaan Luwu. d)
Distrik Tofi yang di Selatan dan di Timur dibatasi dengan Tomori, dan di Utara
bergabung dengan wilayah Bungku Utara. Orang-orang Tomori menguasai daerah ini
sehingga masih termasuk Tombuku hanya di atas kertas. Tombuku utara yang
dinyatakan sebagai distrik kelima, hampir seluruhnya tidak berpenghuni; mungkin
di sana-sini dihuni oleh beberapa suku Alfur yang tidak mengakui kekuasaan itu.
Para kepala Tombuku juga tidak mengetahui kondisi daerah kerajaan ini dan tidak
memiliki hubungan dengannya. Perjanjian Bungaya ditandatangani pada tanggal 18
November 1667 sehingga semua kekuasaan Gowa di Indonesia Timur tunduk kepada
VOC. VOC berhasil menguasai Ternate dan Gowa sehingga menempatkan
Gubernurnya di Ternate. Pada tahun 1683, Ternate
diberi kekuasaan oleh kompeni sebagai daerah pinjaman untuk tetap menguasai
kembali daerah-daerah kekuasaannya, termasuk Banggai. Pada akhir tahun 1688, Ternate mengirim utusannya ke
Pulau Banggai sehingga pada tanggal 26 Januari 1689, untuk pertama kalinya VOC
mengajukan kontrak kepada Banggai termasuk juga diatur hubungan Ternate dengan
Banggai.
Akhirnya masyarakat campuran
bahari Teluk Tomini antara masyarakat Mandar dengan masyarakat Lauje di
Kerajaan Moutong termasuk juga orang Bugis dengan orang Baree maupun orang
Togean di Kerajaan Tojo Una-una dan Kerajaan Togean. Seorang tokoh pendatang
dari tanah Mandar yang dikenal dengan gelar Arajang Taunae[14]
memiliki peran penting dalam mengamankan wilayah Teluk Tomini dari gangguan
bajak laut disekitar Teluk Tomini. Karena perannya itu, maka Arajang Taunae dan
seluruh pengikutnya mendapat kedudukan yang istimewa dalam bentuk pemberian
kekuasaan kepada Arajang Taunae untuk mengatur seluruh kegiatan perdagangan dan
sekaligus menerima hasilnya disekitar wilayah Tomini. Peranan yang demikian
besar itu, memungkinkan pula terjadinya pembauran antara masyarakat setempat
dengan para pengikut Arajang Taunae. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya,
telah terjalin hubungan perkawinan antara kedua belah pihak. Arajang Taunae;
yang oleh masyarakat Mandar dikenal dengan nama Tomessu, dan para pengikutnya
telah memilih untuk menetap di daerah itu. Sejak saat itu, perantau Mandar
banyak berdatangan ke daerah Tomini. Akhirnya, mayoritas penduduk yang mendiami
wilayah dari Sungai Molosipat/ Tanjung Matoro sampai ke Timbaraigi/ Labuan Sori
merasa dirinya sebagai orang Mandar atau keturunan Mandar. Orang-orang tersebut
menyebut dirinya sebagai Tomene, yang dalam perkembangannya kemudian berubah
menjadi Tomini (nama wilayah tersebut). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
Arajang Taunae termakan usia, maka jabatan sebagai penguasa secara de facto
wilayah Tomini, selanjutnya diserahkan kepada anaknya yang bernama Pataikaci,
melalui persetujuan penguasa-penguasa setempat (dalam istilah lokal disebut
Olongian).[15]
Pataikaci inilah yang menjadi peletak dasar berdirinya Kerajaan Moutong dan
merupakan raja pertama kerajaan tersebut.
IV. Budaya
Bahari Masyarakat Pinggir Laut di Sulawesi Tengah
Fenomena menarik di
Sulawesi Tengah adalah adanya Wakil Bupati yang berasa dari Suku Bajo di
Kabupaten Banggai Kepulauan yang bernama Zakaria Kamindang dari Bajo Tinakin
Laut dan sekarang ini wakil Bupati Kabupaten Banggai Kepulauan Rais Adam dari
Bajo Kalumbatang. Persebaran orang Bajo di Sulawesi Tengah tersebar di hampir
semua pelosok wilayah Sulawesi Tengah. Jadi, transformasi Bajo di Sulawesi
Tengah dapat dikatakan sangat tinggi, sehingga mereka tidak lagi hanya sekadar
melaut tetapi kedudukan mereka di masyarakat Sulawesi Tengah sudah dapat
diperhitungkan secara politik. Salah satu naskah Bajo yang kami temukan di
Salabangka menyatakan bahwa:
“rombongan suku Bajo di bawah pimpinan
Lolo Hamme meninggalkan Bajoe, rombongan tersebut tiba di Bungin Kallo lalu
menyebar sampai ke Tomia Binongko, Muna, melalai selat Tobea, Buton, Selat
Wawonii, Labengki kemudian sampai dengan ke – Kepulauan Salabangka. Akan tetapi
rombongan ini tidak berdiam lama di sana kecuali sebagian kecil dan selebihnya
terus melanjutkan perjalanan ke – Kepulauan Banggai, Taliabo sampai ke Pulau
Ternate hingga ke pulau Tambuku Kecil. Namun setelah meninjau daerah – daerah
yang pernah dilalui ini ternyata tidak cocok dijadikan tempat pencaharian, maka
rombongan kembali ke Kepulauan Salabangka. 40% dari rombongan tersebut tinggal
dan menetap di Kepulauan Banggai, Pagimana, Togiang dan Ampana serta sebahagian
menyebar ke daerah Parigi Moutong. sedangkan Lolo Bajo beserta rombongan yang
lain langsung menuju Kepulauan Salabangka dan bermukim di sana. Di sanalah Lolo
Bajo memulai hidup baru setelah meninggalkan Bone sekitar tahun 1305 Hijriah
dan memulai menyusun pemerintahan yang teratur sesuai keadaan waktu itu kurang
lebih 130 tahun yang lampau. Setelah mereka berhasil mengusir pengacau Mindanau
dan Tobelo, kemudian Lolo Bajo Hamme menghadap raja Bungku dalam rangka
mengajukan permohonan agar dapat diberi izin untuk tinggal di Kepulauan
Salabangka dan menui kepulauan yang pada saat itu dibawah kekuasaan raja
Bungku. Oleh raja Bungku memberi izin kepada mereka orang-orang Bajo ini,
dengan catatan mereka harus tunduk kepada aturan Kerajaan Bungku dan Ternate
sebab pada saat itu Bungku berada di bawah taktis ke-Sultanan Ternate. Karena
Salabangka adalah daerah kekuasaan Bungku maka disamping pemberian areal lokasi
pemukiman oleh raja Bungku kepada orang Bajo, juga diberi hak otonomi untuk
mengatur pemerintahan sendiri sehingga hubungan antara Kerajaan Bungku dan Suku
Bajo di Kepulauan Salabangka dan Menui Kepulauan hanya merupakan hubungan
Administrasi.
Adapun secara politis/tehnis dan moral
orang-orang bajo tetap orang Bone yang berada di taktis kerajaan Bone meskipun
mereka tinggal menetap di wilayah Kerajaan Bungku. Sebab orang-orang Bajo ini
diwajibkan membayar upeti ke Bone setiap tahunnnya yang diantar oleh Lolo Bajo
kepada raja Bone di akhir tahun, manakala upeti tersebut diantar ke-Kerajaan
bone itu di kawal oleh tiga buah armada laut yang dilengkapi dengan panji-
panji suku Bajo dengan kode etik sebagai berikut:
Perahu yang ditumpangi oleh Lolo
Bajo warna kuning, panji tersebut dikibarkan setelah mendekati pelabuhan Bone
seraya diiringi gendang yang dalam adat Bajo disebut gandah sarama dema,
iringan gendang dan seruling yang dibunyikan disebut Soroh Dayoh-Soroh
Busae.demikian pula halnya tatkala kembali meninggalkan pelabuhan Bajoe
panjipun kembali dikibarkan, gendang dan seruling dibunyikan dalam irama
ra’ra/gandah ra’ra yang oleh suku Bajo lebih popular dengan sebutan gandah
tula’ sambuah yang bermakna ucapan selamat tinggal.[16]
Peradaban ini
yang terbangun sepanjang sejarah di Wilayah Bungku, mereka masih melakukan
interaksi antara orang-orang Bajo di Wilayah Sulawesi Tengah bagian Timur
maupun dengan orang Bajo di Bajoe Bone. Demikian juga dengan peradaban maritim
yang terbangun di Banggai, interaksi antara orang-orang Banggai dengan orang
Bajo maupun orang Mandar berjalan secara dinamik dalam budaya penangkapan ikan
maupun perdagangan ikan. Sumber di bawah ini menujukkan bahwa interaksi
perdagangan antara orang Mandar dengan Bajo juga dengan Orang Banggai berjalan
lancar di paruh tengah abad ke-19, sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
“Produksi
ikan dan teripang di pulau Banggai menjadi tangkapan utama bagi orang Badjo dan
orang Mandar. Orang Badjo biasanya menangkap ikan dan teripang sebanyak 100
sampai 200 sampangs kecil, sedangkan orang
Mandar menggunakan kapal paduwakang.
Beberapa
tahun terakhir, jumlah orang dari Badjo dan Mandar meningkat, hal ini mungkin
disebabkan oleh penghasilan jumlah besar
(1/3 dari hasil tangkapan mereka) bahwa produksi harus
dipertahankan. Jumlah orang Mandar dengan menggunakan kapal paduwakang setiap
tahunnya mencapai 27 kapal, sedangkan Badjo berjumlah 168 sampang.
Mereka
memperkirakan menangkap setiap tahunnya mencapai pm 800 ȃ 900 pikul. Produksi penangkapan teripang
sekitar 1.600 â 1.800 kapala. Berat masing-masing kapal sebagai ukuran sekitar
1 sampai 13/4 katti.
Badjo membayar pajak
hak istimewa untuk dapat menangkap ikan pada terumbu karang sebanyak ¼ hasil
penangkapan di Banggai. Mandar membayar 5 kain Mandar, sini 3½ ȃ 4 real atau f.
7 â f. 8 gulden, selain Mandar dibebankan biaya sebesar f. 3 gulden.”[17]
Berdasarkan dua naskah ini menunjukkan
bahwa budaya bahari masyarakat Bajo di Sulawesi Tengah adalah budaya yang
datang dari luar untuk kemudian menyatu secara dinamik membentuk peradaban dan
kebudayaan maritim masyarakat Sulawesi Tengah. Sistem Perahu tradisional,
modern dan pasca modern masyarakat bajo di Sulawesi Tengah menjadi bukti
otentik adanya budaya dan peradaban maritim Sulawesi Tengah yang disesuaikan
dengan kontur laut di persekitaran wilayah Sulawesi Tengah, yakni Selat
Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Selat Maluku, dan Teluk Tolo, serta Teluk
Tomini.
Pemikiran orang Bajo yang melihat alam
sebagai subjek adalah bajo tradisional. Orang Bajo yang masih dipengaruhi oleh
pola pikir tradisional dapat dilihat pada sejak adanya dua pemukiman Bajo
terbentuk. Bajo Bongganan di Salakan Kabupaten Banggai Kepulauan terbentuk
sejak tahun 1896, sedangkan Bajo Jayabakti berdiri sejak tahun 1918. Pola pikir
tradisional terjadi hingga masa pemerintahan tradisional dari Mbo Kokok hingga
Mbo Ndalame yang masih menggunakan punggawa sebagai sebutan kepala
masyarakat Bajo di Jayabakti yang berlangsung hingga tahun 1965. Sedangkan bagi
masyarakat Bajo di Bongganan Salakan berlaku hingga masa kekuasaan Punggawa Rapi
atau Haji Sawani hingga Cale Kadehe (1942-1959). Mengikuti pola tradisional
yang ditampilkan oleh Kuntowijoyo [18]
bahwa kebudayaan masyarakat pada masa ini penuh dengan mitologisasi
(mitologisasi), sakralisasi (mengeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala
sesuatu sebagai misteri). Pada masa ini, masayarakat Bajo masih tunduk
sepenuhnya pada alam termasuk laut dan darat. Mereka melihat alam sebagai
sesuatu yang dahsyat, tak terjangkau, dan menguasai manusia.
Perlakuan seperti yang diuraikan tersebut
sebelumnya akan memberikan garapan dan gagasan yang lebih expresif mengenai
perkembangan orang Bajo yang masih berpikiran tradisional dengan pemikiran
bahwa alam sekitarnya termasuk laut dan darat sekalipun sebagai subjek seperti
pada paruh awal 45 tahun pertama yang masih menggantungkan hidupnya pada alam
(ekonomi susbsisten tentang laut). Salah satu penelitian yang mengagumkan
adalah hasil penelitian Hedy Shri Ahimsa-Putra yang dinyatakan bahwa:
“Ceritera orang Bajo
yang berjudul Pitoto’ si Muhamma’ ... merupakan sebuah upaya simbolisasi
yang dilakukan oleh orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris
yang mereka hadapi sebagai orang yang hidup dari mumpulkan hasil laut.
Kontradiksi-kontradiksi abadi yang mereka hadapi adalah kenyataan bahwa mereka
hidup di laut, namun juga masih tergantung pada hasil bumi dari darat; bahwa
mereka membutuhkan bantuan bukan hanya dari kerabat, tetapi juga dari mereka
yang bukan kerabat”.[19]
Argumentasi dari Ahimsa tersebut,
mengindikasikan bahwa masyarakat Bajo dimanapun dia berada pada masa ini masih
dipengaruhi oleh kontradiksi-kontradiksi yang mereka buat sendiri dan tidak
dapat dipecahkan sendiri pula, sehingga pemikiran itulah yang mengisolasi
permukiman masyarakat Bajo dari kehidupan dunia darat. Salah satu teknologi
maritim yang digunakan oleh masyarakat Bajo pada masa ini masih sederhana juga
berupa lepa-lepa yang biasanya disebut nelayan lepa-lepa yang
juga disebut nelayan sampan. Perahu ini biasanya memiliki panjang sekitar 5-7
meter, lebar 1 meter, dan tinggi 50 cm tanpa menggunakan penyeimbang yang masih
digerakkan oleh layar. Kelengkapan nelayan sema-sema biasanya juga masih
sederhana berupa tombak dan pancing dan waktu melaut hanya sekitar satu hingga
lima jam untuk keperluan menyambung hidup sehari-hari.
Pemikiran orang Bajo bahwa alam sebagai objek
adalah orang Bajo modern karena telah memperhitungkan penaklukan alam. Orang
Bajo yang telah memiliki pola pemikiran modern terjadi sejak kekuasaan Amin
Budi (1960-1975) di Bongganan Salakan dan Ndali Minggu sebagai Kepala Desa
pertama di Jayabakti sejak tahun 1965 hingga mengenal pendidikan pada tahun
1974. Orang Bajo Bongganan Salakan antara tahun 1960 hingga tahun 1975 mulai
kelihatan banyak yang memasuki dunia pendidikan yakni tamat pendidikan SD atau
SR sudah sebanyak 40 hingga 51 orang, tamat pendidikan SMP dari 3 orang hingga
25 orang, tamat pendidikan SMA dari 4 hingga 6 orang, sedangkan diploma hingga
tahun 1956 sudah berjumlah 4 orang dan sarjana belum ada. Sedangkan, sejak
tahun 1965 hingga tahun 1975 sudah dijadikan sebagai desa Jayabakti oleh Bupati
R Atje Slamet karena semangat gotong royong masyarakat yang membantu program
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada masa ini pola pemikiran orang Bajo
melihat alam sebagai objek pemahaman dan objek penguasaan. Penyebab pemikiran
ini diakibatkan oleh tiga hal pokok, yakni ilmu- ilmu modern, gerakan
pembaharuan agama, dan mobilitas sosial-budaya. Hal itu berakibat pada
munculnya demitologisasi, desakralisasi, dan demistifikasi. Alam dilihat
sebagai sesuatu yang bermanfaat pada mereka termasuk darat dan laut. Hal ini
dapat dilihat dari perkembangan teknologi perahu Bajo yang disebut Jarangkah
atau perahu bersayap dengan menggunakan mesin katinting (bentuk teknologi
mesin sederhana dari mesin penggiling padi dimodifikasi menjadi mesin yang
dapat menggerakkan perahu). Nelayan Jarangkah biasa juga disebut nelayan
katinting yang menggunakan perahu sema-sema atau perahu bersayap dengan
panjang 8-10 meter, dengan lebar hanya 1,5 meter dan tinggi 1-1,5 meter. Perahu
ini dibuat dari kayu dengan mengunakan mesin katinting sebagai pendorong.
Perahu ini dilengkapi dengan peralatan pancing, ragguk (pancing satu
tali dengan jumlah pancing banyak), pukat, dan tombak. Biasanya mereka berlayar
dari pulau satu ke pulau lainnya atau karang satu ke karang lainnya dengan
menggunakan waktu selama sehari hingga tiga hari.
Pengembangan kedalam lokus orang Bajo
modern yang memiliki pola pemikiran tentang alam sebagai objek, pemikiran ini
akan memunculkan adanya prilaku masyarakat yang arogan terhadap alam seperti
pembom ikan, penggunaan katinting, dan lain sebagainya. Itulah anak dari sebuah
teknologi. Bahkan dalam sebuah situs dinyatakan bahwa tingkat rekayasa orang
Bajo terhadap alam sangat mengerikan dalam hal pembuatan bom ikan.
“SETIAP malam nelayan suku Bajo bermandi
keringat di depan wajan. Mereka menggoreng pupuk sampai matang, mencampurnya
dengan bubuk korek api, lalu memasukkannya ke botol-botol bersumbu. Bom-bom
buatan ini siap diledakkan keesokan harinya saat laut tenang. Tak lama setelah
bom menggelegar, ikan besar dan kecil akan menggelepar.
Demi memburu tangkapan
yang mahal semacam ikan napoleon, ratusan ribu orang Bajo di sejumlah kabupaten
di Sulawesi Tengah juga makin ganas. Mereka rela menyelam berjam-jam tanpa
mempedulikan keselamatan. Padahal ratusan korban telah jatuh. Ada yang lumpuh
karena menyelam, tak sedikit yang tewas akibat bermain bom.”
Suku yang dulu ramah terhadap laut ini
seolah terjebak. Bukan cuma gara-gara rayuan para cukong ikan, tapi juga
lantaran terimpit daerah tangkapan yang kian menyempit.”[20]
Hal itu merupakan dampak pemikiran modernitas yang melihat alam sekedar hanya
sebagai objek yang dianggap hanya menjadi bagian pelengkap atau menjadi semacam
alat dan perlengkapan hidup manusia. Mereka memandang bahwa lingkungan alam
hanya berfungsi untuk kepentingan manusia semata sehingga egoisme manusia
muncul sebagai kekuatan yang merusak alam. Hal itu dapat dilihat dari
praktek-praktek pemboman yang bukan hanya merusak ekosistem lingkungan, namun
terkadang mereka sendiri menjadi korban dari ulah mereka sendiri.
Orang Bajo yang telah memiliki pemikiran
mengenai alam sebagai subjek sekaligus objek adalah bajo posmo. Orang Bajo yang
telah memiliki pola pemikiran postmodern dimulai sejak hampir semua jenjang
pendidikan telah dilakukan yakni sejak tahun 1975. Pada masyarakat Bajo
Bongganan Salakan sejak masa pemerintahan Sajida K. (1974/1975) dan Subardi
Nyaman (1975-1993) telah memasuki masa pasca modern karena sejak tahun ini
orang Bajo yang tamat pendidikan S-1 sebanyak 2 orang, Diploma sebanyak 3
orang, SMA sebanyak 55 orang, SMP sebanyak 71 orang, dan SD sebanyak 70 orang.
Sedangkan Bajo Jayabakti memasuki masa pasca modern dimulai sejak pergantian punggawa
Mbo Ndalame kepada Kepala Desa pertama Ndali Minggu pada tahun 1965.[21]
Pada masa ini pola pemikiran masyarakat
Bajo menganggap bahwa teknologi yang dianggap rahmat, kemudian banyak digugat
sebagai perusak alam. Alam dihormati lagi, karena alam dianggap sebagai objek
sekaligus subjek. Alam sebagai objek, dibuktikan dengan teknologi perahu Soppek
orang Bajo dilengkapi dengan mesin, sedangkan alam sebagai subjek perahu soppek
orang Bajo masih menggunakan layar. Nelayan soppek biasa juga
disebut nelayan biduk menggunakan perahu yang lebih besar berukuran panjang
8-10 meter, dengan lebar 3-4 meter dan tinggi 2-2,5 meter. Perahu ini
dilengkapi dengan bilik-bilik untuk tempat istirahat. Empat orang yang
menjalankan dan mengoperasikan perahu soppek yang mengumpulkan hasil
laut berupa ikan, teripang, penyu, dan ikan hiu. Perahu ini dilengkapi dengan
peralatan dan perlengkapan berupa pancing, pukat, jaring ikan hiu, panah,
tombak teripang, tombak penyu yang dilengkapi dengan kaca mata selam.
Perjalanan yang dilakukan oleh nelayan soppek hingga nelayan atau
pedagang padewakang dilakukan dari
pulau ke pulau sampai berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
V.
Kesimpulan
Interaksi antara kontur wilayah laut
pinggiran di Sulawesi Tengah telah menciptakan perpaduan keragaman masyarakat
bahari yang menciptakan peradaban dan kebudayaan sendiri. Empat Pola, yakni
pola Selat Makassar menciptakan masyarakat beragam bahari antara masyarakat
lokal dengan orang Mandar dan Sulawesi Selatan yang dinamik dengan laut.
Sementara pola di bagian Utara interaksi antara orang Tolitoli dan Buol dengan
Laut Sulawesi telah menciptakan masyarakat beragam maritim antara orang
Mindanao dengan Sojol serta Buol Tolitoli yang juga dinamik. Pada pola sisi
Timur, masyarakat Bungku dan Banggai serta sebagian Mori menciptakan interaksi
dengan Selat Maluku dan teluk Tolo telah menciptakan campuran budaya antara
Ternate dengan Bungku dan Banggai. Akhirnya, pola interaksi sepanjang
masyarakat Tojo, Togean, Poso, Parigi hingga Moutong dengan Teluk Tomini
menciptakan masyarakat campuran Bahari yang bercirikhas Teluk Tomini. Inilah
bentuk masyarakat beragam maritime Indonesia di pinggir-pinggir laut yang
berinteraksi dengan Laut, Teluk dan Selat.
Argumentasi yang menjelaskan bahwa orang
Bajo yang pasca modern (posmoderni-tas-sme) yang mempunyai pola
pemikiran bahwa alam (laut dan darat) sebagai objek sekaligus subjek dan begitu
juga sebaliknya. Akibat adanya pemikiran ini, tidak ada lagi pemisah antara
orang Bajo dengan darat lebih-lebih laut sehingga tidak heran kalau masyarakat
Bajo sekarang dan masa yang akan datang akan merebut pekerjaan-pekerjaan baru
sebagai hasil dari perkembangan pendidikan mereka. Salah satu profesi yang akan
merubah mereka menjadi masyarakat yang memiliki pemikiran posmodernitas adalah
mereka yang mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi dan kembali mengabdi di
daerahnya masing-masing sebagai suatu upaya merebut narasi besar di tengah
kekucilan mereka seperti yang dikatakan oleh Lyotard sebagai suatu bentuk “kematian
narasi besar”.[22]
Perkembangan sejarah mengajarkan tentang
peneguhan nilai dan simbol yang hadir sebagai sosio-kultural masyarakat.
Masyarakat Bajo yang dipaparkan dalam makalah ini menyajikan nilai-nilai
pemikiran tradisional Bajo, nilai-nilai pemikiran modern Bajo, dan nilai-nilai
pemikiran Bajo posmodernitas yang hadir dalam simbol-simbol yang kasat mata
tersebut berupa teknologi maritim orang Bajo. Sebelum tahun 1965, nilai
tradisional Bajo tercermin pada teknologi lepa-lepa atau sampan
dengan pikiran bahwa alam (laut dan darat) sebagai subjek. Antara tahun 1965
hingga tahun 1975, nilai modernitas terlihat pada teknologi jarangkah dengan
pikiran bahwa alam (laut dan darat) sebgai objek. Pasca tahun 1975, nilai
posmodernitas teraktualisasi pada soppek atau biduk dengan pikiran bahwa
alam (laut dan darat) sebagai subjek sekaligus objek.
Hal itu, terlihat pada fakta perkembangan
pendidikan dan pekerjaan masyarakat Bajo di Bongganan Salakan Kabupaten Banggai
Kepulauan dan Jayabakti Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah
mengindikasikan bahwa orientasi hidup orang Bajo terutama posmodernitas tidak
lagi ada pertentangan dalam batin orang Bajo pada masa tradisional dan modern
mengenai pertanyaan mana yang lebih superior, darat atau laut karena disitulah
kontradiksi-kontradiksi dan oposisi-oposisi yang tidak ada putus- putusnya
terutama pola pemukiman masyarakat Bajo. Bajo Bongganan Salakan telah tinggal
bermukim di darat, sedangkan Bajo Jayabakti Pagimana telah ada yang bermukim di
darat dan ada yang bermukim di atas laut pinggir pantai. Pemikiran ini harusnya
menjadi model of (model dari) dan model for (model untuk) bagi resettlement
permukiman orang Bajo di masa depan.
Daftar Pustaka
Asri
AR. Madatu Djafi, Pendidikan dan Mobilitas Nasional Masyarakat Bajo di Salakan:
Studi Transformasi Sejarah (1940-2005), Skripsi S1 FKIP UNTAD Palu, 2007.
C. Bosscher dan P.A.
Matthijssen. 1854. “Schetsen van de rijken van Tombuku en Banggai, op den
oostkust van Celebes”, dalam Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG), Vol. II.
Daeng Mangesa Datupalinge. “Semangat 50 Tahun Indonesia Merdeka
Perlawanan Rakyat Sulawesi Tengah Terhadap Penjajah Belanda”, Pelopor Karya,
Minggu I/07 Juli 1995.
Dagregisters en Registers (inhoudsopgave) op dagregisters,
Reconstructie van het archief van de VOC-vestiging Ternate 1680, Daghregister, brieven,
actens, ordres, instructien en andere voorvallende stucken meergehouden,
gesonden
en ontfangen, verleendt gegeven en voorgevallen op der
reijse van
d'Ed. heer gouverneur Robbertus Padtbrugge met het schip 't Wapen van
Middelburgh, van Ternate over Macquan, Zangij, Chiauw, Manado, Bwool, Tontolij,
Goronta, Xula, Bahgij etcetera beginnende 21 October 1680 en eijndigt 11 Ogos
1681.
Esther J. Velthoen, “Wanderers, Robbers and Bad Folk : the
Politics of Violence, Protection and Trade in Eastern Sulawesi 1750-1850”,
dalam: Anthony Reid (ed), The Last Stand
of Asia Autonomies: Responses to Modernity in the Diverse States of Southeast
Asia and Korea 1750-1900, London: Macmilla, 1997.
Grenzen,
“Het Lanchap Boengkoe,” Tijdschrift, voor Indische Taal Land en
Volkenkunde,
uit gegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchapen, 1908.
Haliadi, dkk., Silsillah Kerajaan Sojol sebagai Sumber Sejarah, Palu,
Laporan Penelitian Kerjasama Pusat Penelitian Sejarah dengan Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, 2009.
Hedy Shri
Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levy-Strauss, Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Kotilainen, Eija-Maija, 1992, When
The Bones are Left; A Study of the Material Culture of Central Sulawesi, Helsinki:
The Finnish Antropological Society.
Kuntowijoyo, Esai-Esai
Budaya dan Politik: Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung:
Mizan, 2002.
Mattulada, Sejarah Kebudayaan To
Kaili (Orang Kaili), Palu: Badan Penerbit Universitas Tadulako, tanpa tahun
terbit.
Mohammad Sairin, “Melihat Dengan Kacamata Berbeda: Respon Tiga Bangsawan
di Sigi Terhadap Kolonial(isasi)”. Makalah disampaikan pada The First
Graduate Seminar on Local History of Indonesia 2013, Yogyakarta, 30-31 Mei
2013.
Natsir dan Haliadi, Kepemimpinan Tradisional di Indonesia Mempawah dan
Kaili, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2015.
Nazaruddin Latif,
Masyarakat Bajo dan Pendidikan Dasar di Desa Djayabakti Kecamatan Pagimana,
Skripsi S1 FKIP UNTAD Palu, 2007.
Nourse, Jennifer W., “Conceiving Spirits: Birth Rituals and
Contested Identities among Lauje of Indonesia,” (Review by: Carol
Laderman)
The Journal of the Royal
Anthropological Institute, Vol. 6, No. 4 (Dec., 2000).
Nur Nanga, Bajo
Pasakaiyang Dalam Lintasan Sejarah (Sejarah Singkat) (Dibuat Untuk Kerukunan
Keluarga Bajo (Kekar Bajo) Kabupaten Morowali, Sulteng di Kaleroang, 5 Februari
2011).
Radjamuda Datupamusu
dan Radjagunu Datupamusu.“Riwayat Hidup Sdr.Datu- pamusu (Tahun 1957)”Manuskrip
tertanggal 15 Juli 1975.
Ritzer, George, Teori
Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003/4. Wicaksono, “Bertaruh
Nyawa demi Napoleon,” TEMPO, 47/XXXI 20 Januari 2003.
Stamboen atau Silsillah Kerajaan Bungku yang dibuat oleh G.L.Reinderhoff
disalin kembali oleh Komendangi, Stamboen atau Silsillah Kerajaan Sojol yang
dibuat oleh Singalam, Stamboen atau
Salasilah Kerajaan Tawaeli, dan Stamboen atau Salasilah Kerajaan Palu.
Syakir Mahid, dkk.,
Kerajaan Bungku, Yogyakarta: Ombak, 2012.
Tania Murai Ly dan Jennifer W. Nourse, dalama: Nourse, Jenifer W., “The Voice of the Winds Versus the Masters of Cure: Contested Notions
of Spirit Possession Among the Lauje of Sulawesi
,“ The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 2, No. 3
(Sep., 1996), hlm. 425- 442; Li, Tania Murray, “Relational Histories and the Production of Difference on Sulawesi's
Upland Frontier Author(s)” The Journal of Asian Studies, Vol. 60, No. 1
(Feb., 2001).
V.S. Korona, 2001, Mengenal Masyarakat Lauje di Bandar Tinombo Negeri Khatulistiwa
Sulawesi Tengah. Palu: Yayasan Khatulistiwa Nusantara.
[1] Disampaikan
pada Dialog Interaktif Kesejarahan Pekan Budaya Indonesia 2017, oleh Direktorat
Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
di Museum Sulteng 23 September 2017, Kota Palu Prov.Sulawesi Tengah.
[2] Esther J. Velthoen, “Wanderers, Robbers and Bad Folk : the
Politics of Violence, Protection and Trade in Eastern Sulawesi 1750-1850”,
dalam: Anthony Reid (ed), The Last Stand
of Asia Autonomies: Responses to Modernity in the Diverse States of Southeast
Asia and Korea 1750-1900, London: Macmilla, 1997, dalam: Syakir Mahid,
dkk., Kerajaan Bungku, Yogyakarta: Ombak, 2012: 319.
[3] Natsir dan Haliadi, Kepemimpinan
Tradisional di Indonesia Mempawah dan Kaili, Jakarta: Direktorat Sejarah dan
Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2015,
hlm. 266.
[4] Radjamuda Datupamusu dan Radjagunu
Datupamusu.“Riwayat Hidup Sdr.Datu- pamusu (Tahun 1957)”Manuskrip tertanggal
15 Juli 1975.
[5] Mohammad Sairin, “Melihat Dengan
Kacamata Berbeda: Respon Tiga Bangsawan di Sigi Terhadap Kolonial(isasi)”.
Makalah disampaikan pada The First Graduate Seminar on Local History of
Indonesia 2013, Yogyakarta, 30-31 Mei 2013.
[6] Daeng Mangesa Datupalinge. “Semangat
50 Tahun Indonesia Merdeka Perlawanan Rakyat Sulawesi Tengah Terhadap Penjajah
Belanda”, Pelopor Karya, Minggu I/07 Juli 1995 hal 04
[7] Stamboen atau Silsillah Kerajaan
Bungku yang dibuat oleh G.L.Reinderhoff disalin kembali oleh Komendangi,
Stamboen atau Silsillah Kerajaan Sojol yang dibuat oleh Singalam, Stamboen atau Salasilah Kerajaan Tawaeli, dan
Stamboen atau Salasilah Kerajaan Palu.
[8] Mattulada, Sejarah Tamadun To Kaili (Orang Kaili), Palu: Badan Penerbit
Universitas Tadulako, tanpa tahun terbit; Kotilainen, Eija-Maija, 1992, When The Bones are Left; A Study of the
Material Culture of Central Sulawesi, Helsinki: The Finnish Antropological
Society.
[9] Dagregisters en Registers
(inhoudsopgave) op dagregisters, Reconstructie van het archief van de
VOC-vestiging Ternate 1680,
Daghregister, brieven, actens, ordres, instructien en andere voorvallende
stucken meergehouden, gesonden
en ontfangen, verleendt gegeven en voorgevallen
op der
reijse van d'Ed. heer gouverneur Robbertus Padtbrugge met het schip 't
Wapen van Middelburgh, van Ternate over Macquan, Zangij, Chiauw, Manado, Bwool,
Tontolij, Goronta, Xula, Bahgij etcetera beginnende 21
October 1680 en eijndigt 11 Ogos 1681, hlm. 13.
[10] Samboom
Besar Olongian Sojol, 1941, hlm. 1.
[11] Haliadi, dkk., Silsillah Kerajaan
Sojol sebagai Sumber Sejarah, Palu, Laporan Penelitian Kerjasama Pusat
Penelitian Sejarah dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi
Tengah, 2009.
[12] Grenzen, “Het Lanchap Boengkoe,”
Tijdschrift, voor Indische Taal Land en
Volkenkunde, uit gegeven door het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchapen, 1908, hlm. 489.
[13] Grenzen, “Het Lanchap Boengkoe,” Tijdschrift, voor Indische Taal Land en
Volkenkunde, uit gegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenchapen, 1908, hlm. 489.
[14] Gelar Arajang Taunae ini merupakan
gelar bagi golongan tertinggi dalam masyarakat Mandar.Mereka biasa dikenal
sebagai golongan Pua atau Puang.Golongan ini dianggap sebagai keturunan langung
dari Topia/ Tomanurung. Selain itu, masyarakat Mandar juga mengenal golongan
lain yaitu 1). Golongan Kama atau Maradia, merupakan golongan menengah
keturunan Pua atau Puang yang kawin dengan golongan lain. Golongan Kama ini
banyak yang memegang jabatan pemerintahan di kerajaan, 2). Golongan Ama yang
merupakan golongan rakyat biasa/ orang kebanyakan.
[15] Istilah Olongian juga telah
digunakan oleh Tania Murai Ly dan Jennifer W. Nourse, daripada: Nourse, Jenifer
W., “The Voice of the Winds Versus the
Masters of Cure: Contested Notions of Spirit Possession Among the Lauje of
Sulawesi
,“ The
Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 2, No. 3 (Sep., 1996),
hlm. 425- 442; Li, Tania Murray, “Relational
Histories and the Production of Difference on Sulawesi's Upland Frontier
Author(s)” The Journal of Asian Studies, Vol. 60, No. 1 (Feb., 2001), hlm.
41-66; Nourse, Jennifer W., “Conceiving
Spirits: Birth Rituals and Contested Identities among Lauje of Indonesia,”
(Review by: Carol Laderman)
The Journal
of the Royal Anthropological Institute, Vol. 6, No. 4 (Dec., 2000), hlm.
752-753; V.S. Korona, 2001, Mengenal
Masyarakat Lauje di Bandar Tinombo Negeri Khatulistiwa Sulawesi Tengah.
Palu: Yayasan Khatulistiwa Nusantara.
[16] Nur
Nanga, Bajo Pasakaiyang Dalam Lintasan Sejarah (Sejarah Singkat) (Dibuat Untuk
Kerukunan Keluarga Bajo (Kekar Bajo) Kabupaten Morowali, Sulteng di Kaleroang,
5 Februari 2011).
[17] C. Bosscher dan
P.A. Matthijssen. 1854. “Schetsen van de rijken van Tombuku en Banggai, op den
oostkust van Celebes”, dalam Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG), Vol. II, hlm. 105.
[18] Kuntowijoyo, Esai-Esai Budaya dan
Politik: Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan,
2002, hlm. 108-113.
[19] Hedy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme
Levy-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001, hlm.
25.
[20] Wicaksono, “Bertaruh Nyawa demi
Napoleon,” TEMPO, 47/XXXI 20 Januari 2003.
[21] Nazaruddin Latif, Masyarakat Bajo
dan Pendidikan Dasar di Desa Djayabakti Kecamatan Pagimana, Skripsi S1 FKIP
UNTAD Palu, 2007.
[22] Ritzer, George, Teori Sosial
Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003/4, hlm. 215.
Nama : Georgiana Nggo'u
BalasHapusSTB : A 311 16 098
Kelas : C
Menurut saya makalah di atas menjelaskan hubungan antara masyarakat sulawesi tengah pada saat itu, terbukti bahwa masyarakat Sulawesi tengah adalah masyarakt yang Maritim atau masyarakat yang sngat terbuka dengan sesamanya terbukti dari berbagai contoh di atas yang di paparkan,interaksi antara wilayah kontur laut pinggiran yang membuktikan dan salimg mempengaruhii contohnya suku Bajo yang sangat mempengaruhi dan menganggap bahwa alam sebagai objek dan subjek dari yanh sangat di perhatikan, karena itu darat apalagi laut tidak terlepas dari fokus suku Bajo. Dan pola masyarakat banyak menciptakan masyarakat yang bahari dengan percampuran atau interaksi aeperti semenanjung masyarakat Tojo, Poso, Togean, Parigi, hingga Moutong dan teluk Tomini menciptakan masyarakat campuran bahari yang bercirikan teluk tomini, inilah bentuk masyarakat beragam maritim Indonesia di pinggir laut.
Nama : Ketut Asti Wicana
BalasHapusStambuk : A 311 16 118
Menurut saya mengenai makalah yang disampaikan diatas tentang pola pemikiran masyarakat bahari sulawesi tengah ini membawa berbagai macam perpaduan keragaman terhadap masyarakat bahari, yang mampu menciptakan perbedaan dan kebudayaan sendiri,yakni perpaduan keragaman masyarak di sulawesi tengah, selatan dan timur.
NAMA : MUSTIKA
BalasHapusSTAMBUK : A 311 16 132
KELAS : C
Menurut saya,Makalah di atas membahas mengenai budaya maritim dan keragaman masyarakat bahari di Sulawesi Tengah. Hampir seluruh kerajaan di Sulawesi tengah kecuali Kulawi dan Napu dapat di sebut sebagai kerajaan maritim. Karena kerajaan-kerajaan Sulawesi Tengah dipengaruhi oleh dinamika laut yang mendukung aktivitas pelayaran dan perdagangan nusantara.kemudian interaksi antara kontur wilayah laut pinggiran di Sulawesi menyebabkan perpaduan keragaman masyarakat bahari yang kemudian menciptakan kebudayaan sendiri. Bentuk masyarakat beragam maritim Indonesia. Dengan 4 pola, yaitu : pola Selat Makassar yang menciptakan masyarakat bahari antara masyarakat lokal dan orang Mandar dan Sulawesi Selatan. Di bagian Utara, interaksi antara Toli-toli dan Buol serta orang Mindanau dengan Sojol. Di bagian Timur, masyarakat Bungku dan Banggai serta sebagian Mori menciptakan interaksi dengan selat Maluku dan Teluk Toko yang menciptakan campuran budaya antara Ternate dengan Bungku dan Banggai. Hingga akhirnya, pola interaksi sepanjang masyarakat Tojo, Togean, Poso, Parigi, hingga Moutong dengan teluk Tomini menciptakan masyarakat bahari yang berciri khas Teluk Tomini.
Menurut saya makalah ini menjelaskan bagaimana budaya maritim kerajaan-kerajaan di sulawesi tengah yang dipengaruhi oleh dinamika laut sulawesi, Laut Banda, Selat Makassar, Laut Maluku, Teluk Tomini, Teluk Tolo, dan Teluk Palu. Dan dalam makalah ini juga banyak menjelaskan mengenai percampuran masyarakat di pinggir laut Sulteng dimana terjadi interaksi antara kontur wilayah laut pinggiran di Sulteng telah menciptakan perpaduan beragam masyarakat bahari yang menciptakan peradaban dan kebudayaan sendiri.
BalasHapusdemikian pendapat saya.terimah kasih. Semoga sukses.Amin😊
FERAWATI KALADE
BalasHapusA31116094
Kelas C 2016
Membaca dan menganalisa tulisan bapak ini dapat sedikit saya simpulkan bahwa kerajaan-kerajaan disulawesi mayoritas bersifat kerajaan maritim kecuali kerajaan kulawi dan napu, karena hampir semua kerajaan disulawesi tengah memiliki hubungan topografi dengan laut. Masyarakat bahari disulteng dipengaruhi atau merupakan campuran dari masyarakat bahari dari berbagai wilayah di sulawesi dan masyarakat lokal disulteng. Masyarakat bahari sekarang tidak anggap sebelah mata karena mereka juga berkontribusi dalam bidang politik contohnya seperti wakil bupati banggai kepulauan yang berasal dari suku bajo dikabupaten banggai. Pemikiran Orang suku bajo atau masyarakat bahari sekarang sudah lebih modern dan tidak berfokus hanya kepada laut saja. Pemikiran modern masyarakat bahari sudah mulai muncul pada 1960-1975 sejak kekuasaan Amin Budi.
Nama. Ni nyoman edniari
BalasHapusStambuk. A31116133
Intinya makalah ini membahas tentang suatu interaksi antra kontur wilayah laut pinggiran di sulawesi tengah yang telah menciptakan perpanduan keragaman masyarakat terutama suku bajo yang begity mempengaruhi dan menganggap bahwa alam ini sebagai suatu objek yang sangat dipwrhatikan sebagaimana mestinya.
Nama : juwita
BalasHapusStambuk: A 311 16 116
Assalamualaikum warahmatullahi wabaraktu ya baik Terkait dengan makalah diatas mengenai pola pemikiran masyarakat bahari sulawesi tengah pada dasarnya masyarakat sulteng sangat terbuka terhadap masyarakat yang lain atau masyarakat pendatang di wilayah sulawesi tengah sehingga banyak berbagai macam suku dan budaya yang terdapat diwilayah sulawesi tengah sehingga mengakibatkan banyak daerah-daerah lain yang berimigran ke wilayah ini termasuk juga orang mandar yang pada dasarnya ia datang kedaerah sulteng ini untuj mengusir para bajak laut di daerah moutong sehingga lama kelamaaan ia menetap disana dan kemudian di angkat menjadi raja moutong. Begitu juga dengan daerah-daerah lain banyak sekali terdapat ragam budaya di wilayah sulteng ini sehingga kemudian terjadilah interaksi wilayah laut sulteng dan telah menciptakan perpaduan keragaman masyarakat bahari serta menciptakan peradaban dan kebudayannya sendiri sekian dan terima kasih.
Nama: Ervina Dewi
BalasHapusStambuk:A31116091
Kelas:C
Pembahasan pada kali ini membahas 3 sub permasalahan, dimana kontur laut Sulawesi Tengah sebuah gambaran umum dan kerajaan maritim di sulawesi tengah, kemudian masyarakat campuran bahari di pinggir laut Sulawesi Tengah serta budaya bahari Bajo di Sulawesi Tengah. Dipembahasan pertama membahas mengenai kerajaan Maritim di Sulawesi Tengah yang mana dipengaruhi oleh dinamika laut Sulawesi, Laut Banda, Selat Makassar, Laut Maluku, Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Teluk Palu. Hampir semua kerajaan di Sulawesi Tengah mendukung pelayaran dan perdagangan Nusantara kecuali kerajaan Napu dan Kulawi. Selain daripada itu kerajaan Marit tersebut di dukung oleh keadaan topografi karena hampir semua wilayah berhubungan dengan laut, selat, teluk, tanjung, muara sungai maupun pelabuhan laut. Jadi dengan itu menjadi penunjang kegiatan maritim kerajaan di Sulawesi Tengah.
Sedangkan pada pembahasan kedua membahas mengenai masyarakat campur bahari di pinggir laut Sulawesi Tengah. Pada pembahasan ini menjelaskan antara campuran masyarakat maritim dengan masyarakat setempat yang ada di sulawesi tengah. Seperti campuran antara orang Mandar dan Kaili di kerajaan Benawa, kemudian campuran antara Tolitoli dan bugis Barru, campuran antara Banggai dan Ternate, dan campuran antara Lauje dan Mandar di Teluk Tomini.
Kemudian selanjutnya pembahasan ke tiga yaitu lebih banyak membahas mengenai suku Bajo, dengan adanya hubungan suku bajo dengan suku lain maka menciptakan sebuah peradaban dan kebudayaan. Dimana salah satunya yaitu kebudayaan menangkap ikan dan menjual ikan.
Nama : Megawati
BalasHapusStb : A311 16 122
Pendapat Saya Mengenai makalah diatas tentang POLA PEMIKIRAN MASYARAKAT BAHARI SULAWESI TENGAH.
Kita ketehui sendiri Wilayah Nusantara atau indonesia terkenal dengan negara Maritim dimana ia merupakan negara yang sebagian besarnya merupakan perairan. Disamping itu wilayah sulawesi tengah juga tidak terlepas dari wilayah maritimnya. Terbukti dari kebudayaan maritim disulawesi tengah di pengaruhi dari dinamika laut dan masyarakatnya sangat terbuka contohnya seperti ada salah satu suku yangada di sulawesi tengah yaitu suku bajo yang sangat mempengaruhi dan menganggap bahwa alam sebagai objek di perhatikan dan laut tidak terlepas dari fokus suku bajo. Adapun masyarakat bahari sulawesi tengah membawa berbagai macam pengaruh dan perpaduan keragaman yang ada disulawesi tengah terhadap masyarakat bahari yang mampu mempadu padankan keragaman masyarakat di sulawesi tengah,makasar dan bagian yang lainnya.
Terimakasih
Nama : Fadillah
BalasHapusStambuk : A 311 16 092
Menurut saya dalam pembahasan materi ini banyak hal-hal yang penting dan menarik untuk kita ketahui yaitu seperti dalam pembahasan ini bagaimana budaya maritim kerajaan di sulawesi tengah di pengaruhi oleh dinamika laut sulawesi tengah, laut banda, selat makasar, laut maluku, teluk tomini, teluk tolo, dan teluk palu. Yang hampir secara keseluruhan menunjukan bahwa sebagai kerajaan maritim yang mendukung aktivitas pelayaran perdagangan nusantara.
NAMA : FADLUN
BalasHapusSTB : A311 16 093
KELAS: C
Assalamualaikum Wr.Wb, Dari hasil analisa saya mengaenai artikel ini yang dimana ada 3 pembahasan pokok yaitu, membahas kontur laut sulawesi tengah sebuah gambaran umum dan kerajaan maritim disulawesi tengah, dan masyarakat campuran bahari dipinggir laut sulawesi tengah serta budaya bahari bajo disulawesi tengah.yang dimana hampir seluruh kerajaan disulawesi tengah kecuali napu dan kulawi dapat disebut sebagai kerajaan matitim yang mendukung aktifitas pelayaran serta perdagangan nusantara yang dimana kontur ini dipengaruhi oleh selat makasar dan teluk palu sehingga dapat mempengaruhi budaya maritim dikeeajaan lokal sulteng yang dimana memiliki empat pengaruh jaringan laut yaitu selat makassar, laut sulawesi, laut banda plus, selat maluku, dan teluk tomini. Dimana terbentuknya masyarakat baru maritim disulawesi tengah terbangun atas serbuan laut kewilayah sulawesi tengah bagian pinggir laut yang dimana telah tercampur dengan masyarakat lokal. Kemudian adanya argumentasi yang menjelaskan orang bajo mempunyai pola pemikiran bahwa alam sebagai objek sekaligus subjek dengan adanya pemikiran ini tidak ada pemisahan antara orang bajo dengan darat.
Nama : Irda Karyana
BalasHapusStb :A31116114
Kelas :
Adapun seluruh kerajaan yang ada di sulawesi merupakan kerajaan maritim, kecuali Napu dengan Kulawi. Dengan itu kerajaan maritim mendukung aktifitas pelayaran dan perdagangan yang ada di nusantara.adapun kisah dari saverigading membuktikan bahwa ada sikap terbuka antara kerajaan di sulawesi tengah dengan kerajaan di sulawesi bagian selatan, adapun pemikiran orang" Bajo yang dulunya masih sangat tradisional sehingga mereka beranggapan bahwa teknologi itu merupakan suatu rahmat. Bahkan dengan pemikiran mereka yang masih tradisional itu mereka dapat berkembang sehingga dapat menciptakan perahu dan dapat berlayar kepulau satu dengan pulau lainnya.
NAMA : INDRIYANI R.N KALOSO
BalasHapusSTB : A311 16 113
Menurut saya dari makalah diatas tentang pola pemikiran masyarakat tentang beragam bahari sulawesi tengah ini terlihat jelas bahwa masyarakat sulawesi tengah ini adalah masyarakat yang mampu terbuka dengan sesamanya, ini terlihat jelas dari paparan makalah di atas. Sebagai contoh yaitu suku bajo yang menganggap alam sebagai objek juga subjek yang sangat diperhatikan, dan dari pola masyarakatnya menciptakan masyarakat yang bahari, yahhh inilah bentuk dari masyarakat beragam maritim karena percampuran seperti semenanjung masyarakat tojo, parigi sampai moutong, togean, dll.
Nama : Nugra oktavidya
BalasHapusSTB: A31116135
Assalamualaikum
Menurut saya dari makalah yang di atas makalah ini menjelaskan tentang kerajan-kerajaan yang ada dia di sulawesi tengah, yang di mana kerajaan ini di kuasai oleh dinamika laut sulawesi. Dengan adanya makalah ini juga dapat memberikan pengetahuan tentang kerajaan yang ada disulawesi tengah, yang dimana kerajaan di sulawesi tengah ini hampir semua kerajaan yang ada di sulawesi tengah di sebut dengan kerajaan maritim kecuali napu dan kulawi. Adapun masyarakat campuran bahari yang ada dipinggir laut sulawesi tengah seperti kita ketahui bahwa masyarakat maritim masyarakat yang dinamis dan terbuka dan bebas dari sekat sekat budaya dan batas batas adminstrasi, Dengan terbentuknya masyarakat baru maritim di sulawesi tengah terbangun atas serbuan laut kewilayah sulawesi tengah bagian pinggir laut. Adapun Pemikiran orang bajo menyatakan bahwa alam sebagai objek dan mereka memiliki pemahaman bahwa alam sebagai objek pemahaman dan penguasan.
Terimkasih
NAMA : HAERIYA
BalasHapusSTAMBUK : A 311 16 101
KELAS : C
Sedikit dapat saya simpulkan tentang " Pola Pemikiran Masyarakat Beragam Bahari di Sulawesi Tengah" yang mana di sini di jelaskan tentang budaya Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah yang di pengaruho oleh dinamika Laut Sulawesi, Laut Banda, Selat Makassar, Laut Maluku, Teluk Tomini, Teluk Tolo, dan Teluk Palu.
Kemudian kejadian ini jelas bahwa hampir seluru kerajaan yang berada di sulawesi tengah terkecuali Napu dan Kulawi dapat di sebut sebagai kerajaan maritim yang memdukung aktifitas pelayaran dan perdagangan nusantara. Kemudian ada empat pengaruh jaringan laut di sulwesi tengah yaitu : Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Belanda plus Selat Maluku, dan Teluk Tomini.
Nama : irwanto
BalasHapusStb : A311 16 115
Dari makalah yang di atas,saya dapat simpulkan bahwa keragaman dalam masyarakat bahari di sulawesi ini,ia memiliki empat pola untuk mencipatakan peradaban yang baru di sulawesi tengah,timur dan selatan..
Selain itu adanya pola ini kita bisa mengetahui bagaimana keragama bahari dalam masyarakat tersebut..
Nama : Mirna
BalasHapusStambuk : A 311 16 125
Kelas : C
Dengan adanya makalah ini daya dapat mengetahui tentang POLA PEMIKIRAN MASYARAKAT BERAGAM BAHARI DI SULAWESI TENGAH. Menurut sya hubungan antara masyarakat sulawesi pada masa itu sangat terbukti bahwa pemikiran masyrakat bahari sulawesi tengah adalah masyarakat maritim, serti yang sya baca di makalah ini bahwa interaksi antara wilayah kontur laut yang terbukti dan saling mempengaruhi contohnya itu seperti suku bajo. Dan pola masyarakat bnyak masyarakat bahari dengan percampuran seperti semenanjung masyarakat tojo,poso dll. Dan hampir seluruh kerajaan di sulawesi tengah kecuali kulawi dan napu dapat disebut sebagai kerajaan mariti.
Assalamualaikum.
BalasHapusMengenai makalah bapak yang berjudul "Pola Pemikiran Masyarakat Beragam Bahari di Sulawesi Tengah" dapat saya simpulkan beberapa hal. Pertama mengenai budaya maritim kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah dapat dikatakan sebagai kerajaan maritim kecuali kerajaan Napu dan Kulawi. Hal ini dipengaruhi oleh hubungan kerajaan di Sulawesi Tengah yang hampir semua memiliki hubungan topografi dengan laut. Kemudian mengenai masyarakat campuran bahari di pinggir laut sulawesi tengah, terjadi berbagai macam percampuran masyarakat dikarenakan sifat masyarakat bahari yang terbuka dan bebas. Adapun mengenai budaya bahari masyarakat pinggir laut di Sulawesi Tengah, budaya bajo merupakan salah satu budaya bahari yang berpengaruh. Budaya bahari bajo adalah budaya dari luar yang menyatu dan menjadi kebudayaan maritim masyarakat Sulawesi Tengah.
- Hairunnisa Zulkifli ( A31116102 )
Nama : Hikmah Labone
BalasHapusStambuk : A 311 16 105
Kelas : C
Makalah yang membahas Pola pemikiran masyarakat beragam di sulawesi tengah
Adanya masyarakat campuran di sulawesi tengah seperti yang di bahas yaitu masyarakat maritim dimana dalam masyarakat ini terjadilah percampuran oleh masyarakat-masyarakat lokal. Masyarakat maritim ini yaitu masyarakat yang penghasilannya yaitu di lautan dan kebanyakan orang-orang bajo yang tersebar di seluruh sulawesi tengah. Dan adanya campuran tersebut antara campuran masyarakat bahari selat makasar, campuran masyarakat bahari laut sulawesi, campuran masyarakat bahari laut banda dan selat maluku, serta campuran masyarakat bahari teluk tomini. Di mana dalam percampuran ini terdapat banyak suku di toli-toli dan buol ini ada masyarakat bindano dengan masyarakat sojol dan di toli-toli terdapat percampuran bugis Barru dengan masyarakat toli-toli yang di sebut bugis toli-toli. Dan di bagian timur terdapat juga campuran masyarakat bahari laut banda dan selat maluku seperti Bajo salabangka di kerajaan bungku, dan juga masyarakat banggai dan bungku dengan masyarakat ternate.
Budaya bahari masyarakat pinggir laut di sulawesi tengah terutama di Banggai Kepulauan terdapat hal menarik yaitu wakil dari bupatinya suku Bajo bernama Zakaria Kamindang dari Bajo Tinanking laut dan sekarang ini wakil bupati Kabupaten Banggai Kepulauan Rais Adam dari bajo Kalumbatang.
Persebaran orang Bajo di sulawesi tengah tersebut di hampir semua pelosok wilayah sulawesi tengah. Persebaran ini sangat pesat dan ada sumber dari Salabangka mengatakan bahwa pada saat itu ada rombongan suku bajo yang di pimpin oleh Lolo Hamme meninggalkan Bajoe, dan tiba di bungku Kallo dan menyebar lagi sampai ke Tomia Binangka, Muna malalai selat Tobea, Buton, selat Wawonii, Labengki, kemudian dengan ke-kepulauan salabangka. Dan pada saat mereka melanjutkan perjalanan lagi ke-kepulauan banggai, sebagian kecil menetap di salabangka. Selain itu ternyata bukan cuma di kepulauan banggai ternyata di beberapa tempat lagi sepertu di Taliabo, sampai di kepulauan ternate dan juga di kepulauan Tambuku kecil. Dan ternyata setelah orang bajo tersebut melakukan perjalanan seperti yang di sebutkan di atas mereka tidak mendapatkan tempat pencaharian yang cocok untuk di tetapkan karena tempat pencahariannya juga tidak pas untuk tetap menetap di sana, akhirnya orang Bajo yang melakukan perjalanan itu kembali lagi ke ke pulau salabangka karena mungkin di salabangka merupakan tempat yang tepat untuk di jadikan tempat oencaharian untuk mereka, tetapi ada juga yang menetap di banggai, pagimana, Togiang dan ampana ada juga di parigi moutong.
Pemikiran orang bajo yang melihat alam sebagai subjek adalah bajo tradisional. Dimana orang bajo pemikirannya masih tradisional dengan pemikiran bahwa alam sekitarnya termasuk laut dan darat sekalipun sebagai subjek dimana hidupnya pada alam (ekonomi, substensi tentang laut).
Dan ada masa dimana terdapat yang namanya Bajo Modern, Pada masa itu pola pemiliran orang bajo melihat alam sebagai obyek pemahaman dan obyek penguasaan, adanya pemikiran ini karena ada tiga hal yaitu ilmu-ilmu modern, gerakan pembaharuan agama, dan mobilitas sosial budaya. Alam di lihat sebagai sesuatu yang bermanfaat pada mereka termasuk darat dan laut. Dan orang-orang bajo skarang sudah modern dan dengan adanya perahu kantinting (bentuk teknologi mesin sederhana dari mesin penggiling padi di modivikasi menjadi mesin yang dapat menggerakan perahu).
Nama : Hikmah Labone
BalasHapusStambuk : A 311 16 105
Kelas : C
Makalah yang membahas Pola pemikiran masyarakat beragam di sulawesi tengah
Adanya masyarakat campuran di sulawesi tengah seperti yang di bahas yaitu masyarakat maritim dimana dalam masyarakat ini terjadilah percampuran oleh masyarakat-masyarakat lokal. Masyarakat maritim ini yaitu masyarakat yang penghasilannya yaitu di lautan dan kebanyakan orang-orang bajo yang tersebar di seluruh sulawesi tengah. Dan adanya campuran tersebut antara campuran masyarakat bahari selat makasar, campuran masyarakat bahari laut sulawesi, campuran masyarakat bahari laut banda dan selat maluku, serta campuran masyarakat bahari teluk tomini. Di mana dalam percampuran ini terdapat banyak suku di toli-toli dan buol ini ada masyarakat bindano dengan masyarakat sojol dan di toli-toli terdapat percampuran bugis Barru dengan masyarakat toli-toli yang di sebut bugis toli-toli. Dan di bagian timur terdapat juga campuran masyarakat bahari laut banda dan selat maluku seperti Bajo salabangka di kerajaan bungku, dan juga masyarakat banggai dan bungku dengan masyarakat ternate.
Budaya bahari masyarakat pinggir laut di sulawesi tengah terutama di Banggai Kepulauan terdapat hal menarik yaitu wakil dari bupatinya suku Bajo bernama Zakaria Kamindang dari Bajo Tinanking laut dan sekarang ini wakil bupati Kabupaten Banggai Kepulauan Rais Adam dari bajo Kalumbatang.
Persebaran orang Bajo di sulawesi tengah tersebut di hampir semua pelosok wilayah sulawesi tengah. Persebaran ini sangat pesat dan ada sumber dari Salabangka mengatakan bahwa pada saat itu ada rombongan suku bajo yang di pimpin oleh Lolo Hamme meninggalkan Bajoe, dan tiba di bungku Kallo dan menyebar lagi sampai ke Tomia Binangka, Muna malalai selat Tobea, Buton, selat Wawonii, Labengki, kemudian dengan ke-kepulauan salabangka. Dan pada saat mereka melanjutkan perjalanan lagi ke-kepulauan banggai, sebagian kecil menetap di salabangka. Selain itu ternyata bukan cuma di kepulauan banggai ternyata di beberapa tempat lagi sepertu di Taliabo, sampai di kepulauan ternate dan juga di kepulauan Tambuku kecil. Dan ternyata setelah orang bajo tersebut melakukan perjalanan seperti yang di sebutkan di atas mereka tidak mendapatkan tempat pencaharian yang cocok untuk di tetapkan karena tempat pencahariannya juga tidak pas untuk tetap menetap di sana, akhirnya orang Bajo yang melakukan perjalanan itu kembali lagi ke ke pulau salabangka karena mungkin di salabangka merupakan tempat yang tepat untuk di jadikan tempat oencaharian untuk mereka, tetapi ada juga yang menetap di banggai, pagimana, Togiang dan ampana ada juga di parigi moutong.
Pemikiran orang bajo yang melihat alam sebagai subjek adalah bajo tradisional. Dimana orang bajo pemikirannya masih tradisional dengan pemikiran bahwa alam sekitarnya termasuk laut dan darat sekalipun sebagai subjek dimana hidupnya pada alam (ekonomi, substensi tentang laut).
Dan ada masa dimana terdapat yang namanya Bajo Modern, Pada masa itu pola pemiliran orang bajo melihat alam sebagai obyek pemahaman dan obyek penguasaan, adanya pemikiran ini karena ada tiga hal yaitu ilmu-ilmu modern, gerakan pembaharuan agama, dan mobilitas sosial budaya. Alam di lihat sebagai sesuatu yang bermanfaat pada mereka termasuk darat dan laut. Dan orang-orang bajo skarang sudah modern dan dengan adanya perahu kantinting (bentuk teknologi mesin sederhana dari mesin penggiling padi di modivikasi menjadi mesin yang dapat menggerakan perahu).
Nama : Iin Pratiwi
BalasHapusStambuk : A 311 16 108
Kelas : C
Makalah yang membahas Pola pemikiran masyarakat beragam di sulawesi tengah
Adanya masyarakat campuran di sulawesi tengah seperti yang di bahas yaitu masyarakat maritim dimana dalam masyarakat ini terjadilah percampuran oleh masyarakat-masyarakat lokal. di Kaili dan Poso merupakan bukti hubungan maritim antara Kerajaan Bugis-Makassar seperti Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, dan Kerajaan Luwu. Kisah Saverigading membuktikan bahwa ada sikap terbuka antara Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi bahagian Selatan termasuk Kerajaan-kerajaan di Tanah Mandar. Kontur Laut Kerajaan Maritim di Sulawesi Tengah dipengaruhi oleh Selat Makassar dan Teluk Palu sehingga mempengaruhi budaya maritim di kerajaan-kerajaan lokal Sulawesi Tengah.